Sabtu, 06 Agustus 2022

 

BUDIDAYA KAYU PUTIH

Kayu putih merupakan tanaman yang tidak asing bagi masyarakat di Indonesia karena mengandung minyak atsiri yang berkhasiat sebagai obat, insektisida dan wangi-wangian. Selain itu, pohon kayu putih dapat digunakan untuk konservasi lahan kritis dan kayunya dapat digunakan untuk berbagai keperluan (bukan sebagai bahan bangunan). Dengan demikian, kayu putih memiliki nilai ekonomi cukup tinggi (Sunanto, 2003 dalam Fauziana 2016).

Secara taksonomi tanaman kayu putih diklasifikasikan ke dalam Divisi Spermatophyta, Sub divisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo Myrtales, Familia Myrtaceae, Genus Melaleuca, dan Spesies Melaleuca cajuputi, Sub spesies Melaleuca cajuputi subsp cajuputi. Dalam tatanama lama Melaleuca cajuputi subsp cajuputi disebut Melaleuca leucadendron, tetapi tatanama spesies tersebut telah direvisi menjadi Melaleuca cajuputi subsp cajuputi (Craven dan Barlow, 1997 dalam Kartikawati, dkk 2014).

Stocker (1972) cit. Doran et al. (1998) dalam Kartikawati, dkk (2014) mendeskripsikan kayu putih sebagai pohon berukuran sedang dengan batang pokok yang dapat tumbuh hingga 30 meter. Dalam keadaan tertentu pertumbuhannya dapat berkurang sehingga pohon ini tumbuh menjadi belukar dengan cabang yang banyak, tetapi di perkebunan kayu putih DIY rata-rata kayu putih tumbuh hanya sekitar 1,5 3 m (Gambar 1). Batang kayu putih berwarna abu-abu sampai putih, dengan pucuk pohon berwarna agak keperakan, secara umum



Kayu putih mempunyai daun yang sempit, tipis, permukaan rata, tangkai pendek, lebar daun antara 0,5 1 inchi dan panjang daun antara 2 4 inchi. Daun kayu putih sebagian besar berbentuk lancip (Gambar 3). Jika dilihat dari warna kuncup daunnya, kayu putih mempunyai variasi warna merah, putih, dan kuning. Jika daun diremas mempunyai aroma yang khas karena mengandung minyak atsiri atau yang lebih dikenal dengan minyak kayu putih (Kamudjo, 1992).

Tanaman kayu putih yang umurnya telah mencapai 5 tahun umumnya sudah dapat dipungut daunnya untuk disuling. Setelah itu setiap jarak waktu 7 – 9 bulan (beberapa tempat diijinkan 6 bulan) sudah dapat dipungut daunnya lagi. Potensi produksi daun kayu putih rata-rata per hektar diperkirakan 1,5 2,4 ton atau rata-rata 2,0 ton (Kasmudjo, 1992). Adapun urutan cara pemungutan adalah:

1.   Memilih areal yang telah masuk umur tebang yaitu 5 tahun atau sudah pernah dipangkas selang 7 – 9 bulan.

2.   Melakukan pemangkasan tanaman kayu putih dengan memperhatikan diameternya (minimal 2 cm) pemangkasan minimal 75 cm dari permukaan tanah atau pada ketiggian 2 5 cm dari bekas pemangkasan lama (bila berupa trubusan).

3.   Mengumpulkan hasil pemangkasan ke tempat pengumpulan (TPn) dan kemudian dilakukan pengambilan daunnya saja dengan sedikit ranting untuk kemudian dimasukkan ke dalam karung.

4.   Mengangkut daun kayu putih ke pabrik untuk diolah. Ketika di pabrik daun tersebut ditimbang dan dicatat beratnya.

5.   Daun  kayu  putih  sudah  siap  dimasak.  Waktu  menunggu  pemasakan kurang dari 48 jam.

Pohon kayu putih paling baik tumbuh di daerah yang mempunyai ketinggian tempat kurang dari 400 meter di atas permukaan laut. Di Indonesia umumnya tanaman kayu putih berwujud sebagai hutan alam dan hutan tanaman. Hutan alam terdapat di Maluku (Pulau Buru, Seram, Nusa Laut, dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa Tenggara Timur, dan Irian Jaya, sedangkan yang merupakan hutan tanaman terdapat di Jawa Timur, (Ponorogo, Kediri, dan Madiun), Jawa Tengah (Solo dan Gundih), Daerah IstimewaYogyakarta daJawa Bara(Banten, Bogor, Sukabumi, Indramayu, Majalengka) (Kasmudjo, 1992).  

Kerapatan adalah salah satu parameter yang penting dalam memelajari komunitas tumbuhan (Indriyanto, 2006). Kerapatan merupakan individu per unit area (luas) atau per unit volume. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang menunjukkan banyaknya suatu jenis pada tiap satuan luas. Semakin besar kerapatan jenis, semakin banyak individu yang ada pada tiap satuan luas (Septiawan, 2016).

Tutupan tajuk (crown canopy) merupakan proporsi lantai hutan yang tertutup oleh proyeksi tegak lurus tajuk pohon (Jennings et al., 1999 dalam Fauziana, 2016). Penelitian analisis kerapatan tajuk kayu putih dilakukan atas dasar bahwa hasil pemangkasan daun kayu putih berpengaruh pada hasil produksi kayu putih. Untuk itu, kerapatam tajuk kayu putih menjadi salah satu penentu besarnya hasil produksi daun kayu putih.


  Kemiringan Lereng

 

Kemiringan lereng adalah sudut yang dibentuk oleh perbedaan tinggi permukaan lahan (relief), antara bidang datar tanah dengan bidang horizontal, pada umumnya dihitung dalam persen (%). Klasifikasi kelas kemiringan lereng yang digunakan adalah menurut Sitanala Arsyad (1989), dapat dilihat pada Tabel 3. Klasifikasi kemiringan lereng menurut Sitanala Arsyad (1989) merupakan klasifikasi yang paling sesuai dengan keadaan topografi di Indonesia.

Perbedaan tinggi permukaan lahan akan berpengaruh terhadap laju infiltrasi air. Semakin tinggi kemiringan lereng suatu daerah maka akan semakin kecil laju infiltrasi air, karena sebagian besar akan menjadi limpasan permukaan. Tempat yang memiliki lereng curam menyebabkan air tanah akan mengalir dengan cepat, sehingga tidak sempat atau sedikit yang meresap ke dalam tanah.

Tabel 3. Klasifikasi Kelas Kemiringan Lereng Menurut Sitanala Arsyad (1989)

No.

Kemiringan Lereng

Deskripsi

1.

0 – 3%

Datar

2.

3 – 8%

Landai atau Berombak

3.

8 – 15%

Agak Miring atau Bergelombang

4.

15 – 30%

Miring atau Berbukit

5.

30 – 45%

Agak curam

6.

45 – 60%

Curam

7.

>60%

Sangat Curam

Sumber: Sitanala Arsyad, 1989

Kemiringan lereng pada rentang 8 15% mempunyai kadar air tanah yang berbeda dengan kemiringan lereng pada rentang 30 45%. Kemiringan lereng 30

45% memiliki aliran permukaan dengan energi angkut air yang tinggi. Semakin besar kemiringan lereng maka jumlah butir-butir tanah yang terbawa oleh air hujan semakin banyak sehingga menyebabkan lapisan tanah atas (top soil) dan lapisan bahan organik menjadi terkikis. Keadaan tersebut membuat tanah semakin padat dan air yang masuk ke dalam tanah yang dapat diikat oleh partikel-partikel tanah menjadi lebih sedikit (Saribun, 2007).

Pada ketinggian tertentu memiliki kemiringan lereng yang beragam. Tanaman kayu putih lebih sesuai apabila ditanam pada ketinggian di bawah 400 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian tersebut memiliki kemiringan lereng yang berbeda-beda. Penelitian ini dikaitkan dengan kemiringan lereng guna mengetahui seberapa besar pengaruh kemiringan lereng terhadap kerapatan tajuk kayu putih, mengingat kadar air tanah yang sangat diperlukan oleh tanaman dipengaruhi oleh faktor kemiringan lereng.