BUDIDAYA KAYU PUTIH
Kayu putih merupakan tanaman yang tidak asing bagi masyarakat di Indonesia
karena mengandung minyak atsiri yang
berkhasiat sebagai obat, insektisida dan wangi-wangian. Selain itu, pohon kayu putih dapat digunakan untuk konservasi lahan kritis
dan kayunya dapat digunakan untuk
berbagai keperluan (bukan
sebagai bahan
bangunan). Dengan
demikian,
kayu
putih memiliki nilai
ekonomi cukup tinggi
(Sunanto,
2003 dalam Fauziana 2016).
Secara taksonomi tanaman kayu putih diklasifikasikan
ke dalam Divisi Spermatophyta, Sub
divisi Angiospermae, Klas Dicotyledonae, Ordo Myrtales,
Familia Myrtaceae, Genus Melaleuca, dan Spesies Melaleuca cajuputi, Sub spesies
Melaleuca cajuputi subsp cajuputi. Dalam tatanama lama Melaleuca cajuputi subsp
cajuputi disebut Melaleuca leucadendron,
tetapi tatanama spesies tersebut telah direvisi menjadi Melaleuca
cajuputi subsp cajuputi (Craven dan
Barlow, 1997 dalam
Kartikawati,
dkk 2014).
Stocker (1972) cit. Doran et al. (1998) dalam Kartikawati, dkk (2014) mendeskripsikan kayu putih sebagai pohon berukuran sedang dengan batang pokok yang dapat tumbuh hingga 30 meter. Dalam keadaan tertentu pertumbuhannya dapat berkurang sehingga pohon ini tumbuh menjadi belukar dengan cabang yang banyak, tetapi di perkebunan kayu putih DIY rata-rata kayu putih tumbuh hanya sekitar 1,5 – 3 m (Gambar 1). Batang kayu putih berwarna abu-abu sampai putih, dengan pucuk pohon berwarna agak keperakan, secara umum
Kayu putih mempunyai daun yang
sempit, tipis, permukaan rata, tangkai
pendek, lebar daun antara 0,5 – 1 inchi dan panjang daun antara 2 – 4 inchi. Daun
kayu putih sebagian
besar
berbentuk lancip (Gambar
3). Jika dilihat dari warna
kuncup daunnya, kayu putih mempunyai variasi warna merah, putih, dan kuning.
Jika daun diremas mempunyai aroma yang khas
karena mengandung minyak atsiri atau yang lebih dikenal dengan minyak kayu putih (Kamudjo, 1992).
Tanaman kayu putih yang
umurnya telah mencapai 5 tahun umumnya sudah dapat dipungut daunnya untuk disuling. Setelah itu setiap jarak waktu 7 – 9 bulan
(beberapa tempat diijinkan 6 bulan)
sudah dapat dipungut daunnya lagi. Potensi produksi daun kayu putih rata-rata per hektar diperkirakan 1,5 – 2,4 ton
atau rata-rata 2,0
ton (Kasmudjo, 1992). Adapun urutan
cara pemungutan adalah:
1. Memilih areal yang telah masuk umur tebang yaitu 5 tahun atau sudah pernah dipangkas selang 7 –
9 bulan.
2. Melakukan pemangkasan tanaman kayu putih dengan memperhatikan
diameternya (minimal
2 cm) pemangkasan minimal 75 cm dari
permukaan tanah atau pada ketiggian 2 – 5 cm dari bekas pemangkasan
lama (bila berupa trubusan).
3. Mengumpulkan hasil pemangkasan ke tempat pengumpulan (TPn) dan
kemudian dilakukan pengambilan
daunnya saja dengan sedikit ranting untuk kemudian dimasukkan ke dalam karung.
4. Mengangkut daun kayu putih ke pabrik untuk
diolah. Ketika di pabrik
daun tersebut ditimbang
dan dicatat beratnya.
5. Daun
kayu
putih sudah
siap
dimasak. Waktu menunggu
pemasakan
kurang dari
48 jam.
Pohon kayu putih paling
baik tumbuh di daerah yang mempunyai
ketinggian tempat kurang dari
400 meter di atas permukaan laut. Di Indonesia umumnya
tanaman
kayu putih berwujud sebagai hutan
alam dan hutan tanaman.
Hutan alam terdapat di Maluku (Pulau Buru,
Seram, Nusa Laut, dan Ambon), Sulawesi Tenggara, Bali, Nusa
Tenggara
Timur, dan Irian Jaya, sedangkan yang
merupakan hutan tanaman terdapat di Jawa Timur,
(Ponorogo, Kediri, dan Madiun),
Jawa Tengah (Solo dan Gundih),
Daerah IstimewaYogyakarta dan Jawa
Kerapatan adalah salah satu parameter yang
penting dalam memelajari
komunitas tumbuhan (Indriyanto, 2006). Kerapatan merupakan individu per
unit area (luas)
atau per unit
volume. Kerapatan dari suatu jenis merupakan nilai yang
menunjukkan banyaknya suatu jenis pada tiap satuan luas. Semakin besar kerapatan jenis, semakin banyak
individu yang ada pada tiap satuan
luas (Septiawan, 2016).
Tutupan tajuk (crown canopy)
merupakan proporsi lantai hutan yang
tertutup oleh proyeksi tegak lurus tajuk pohon (Jennings et al., 1999
dalam Fauziana, 2016). Penelitian analisis kerapatan tajuk kayu putih dilakukan atas dasar
bahwa hasil pemangkasan daun kayu putih berpengaruh pada hasil produksi kayu
putih. Untuk itu, kerapatam
tajuk kayu putih menjadi salah
satu penentu besarnya
hasil produksi daun kayu putih.
Kemiringan Lereng
Kemiringan lereng adalah sudut yang
dibentuk oleh perbedaan tinggi permukaan lahan (relief), antara bidang datar tanah dengan bidang horizontal, pada umumnya dihitung dalam persen (%). Klasifikasi kelas kemiringan lereng yang
digunakan adalah
menurut Sitanala
Arsyad (1989), dapat dilihat pada
Tabel 3.
Klasifikasi kemiringan lereng menurut Sitanala Arsyad (1989) merupakan
klasifikasi yang paling sesuai
dengan keadaan topografi di Indonesia.
Perbedaan tinggi permukaan lahan akan berpengaruh terhadap laju infiltrasi air. Semakin tinggi kemiringan lereng suatu daerah maka akan semakin kecil laju infiltrasi air, karena sebagian besar akan menjadi limpasan permukaan. Tempat yang memiliki lereng curam menyebabkan air tanah akan mengalir dengan cepat, sehingga tidak sempat atau sedikit yang meresap ke dalam tanah.
Tabel 3. Klasifikasi Kelas
Kemiringan Lereng Menurut
Sitanala Arsyad (1989)
No. |
Kemiringan Lereng |
Deskripsi |
1. |
0
– 3% |
Datar |
2. |
3
– 8% |
Landai atau Berombak |
3. |
8
– 15% |
Agak
Miring atau Bergelombang |
4. |
15 – 30% |
Miring atau Berbukit |
5. |
30
– 45% |
Agak curam |
6. |
45
– 60% |
Curam |
7. |
>60% |
Sangat Curam |
Sumber: Sitanala Arsyad, 1989
Kemiringan lereng pada rentang 8 – 15% mempunyai kadar air tanah yang
berbeda dengan kemiringan lereng pada rentang 30 – 45%. Kemiringan lereng 30
– 45% memiliki aliran permukaan dengan energi angkut air yang tinggi. Semakin besar kemiringan lereng maka jumlah butir-butir tanah
yang terbawa oleh air hujan
semakin banyak sehingga
menyebabkan lapisan tanah atas (top soil)
dan
lapisan bahan organik menjadi terkikis. Keadaan tersebut membuat tanah
semakin padat dan air yang
masuk ke dalam tanah yang dapat diikat oleh partikel-partikel tanah menjadi
lebih sedikit (Saribun, 2007).
Pada ketinggian tertentu memiliki kemiringan lereng yang beragam. Tanaman kayu putih lebih sesuai apabila ditanam pada ketinggian di bawah 400 meter di atas permukaan laut. Pada ketinggian tersebut memiliki kemiringan lereng yang berbeda-beda. Penelitian ini dikaitkan dengan kemiringan lereng guna mengetahui seberapa besar pengaruh kemiringan lereng terhadap kerapatan tajuk kayu putih, mengingat kadar air tanah yang sangat diperlukan oleh tanaman dipengaruhi oleh faktor kemiringan lereng.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar